Kita bisa mengambil gula batok dari batoknya. Ya, saya akan contohkan dari batoknya menjadi gula batok. Gula batok ini dicairkan lagi karena di dalam gula batok tersebut terdapat parutan kelapa biasanya yang dipakai petani untuk “ipah-ipah.” Agar buihnya tidak terlalu banyak, parutan kelapa ini diparut untuk “ipah.” Karena yang tersedia di dekat petani adalah buah kelapa, dengan menggunakan parutan kelapa ini bisa digunakan untuk membuat kemiri atau santan. Meskipun membutuhkan budget tersendiri, kelapa dari petani bisa dipetik secara gratis.
Nah, dari batokan kelapa tadi, kita bisa mencairkannya dengan air. Saya akan contohkan yang asli bisa menggunakan air atau nira, kemudian disaring. Mengapa disaring? Hal ini dilakukan agar “ipah” atau parutan kelapa tadi dapat tersaring terlebih dahulu. Setelah tersaring, barulah dimasak hingga kental. Setelah mencapai konsistensi yang diinginkan, proses pendinginan dilakukan.
Sebagai upaya untuk menghindari gosong, adonan ini diaduk-aduk selama proses pendinginan. Setelah proses pendinginan, adonan dipicik dulu, mirip dengan pembuatan gula cetak atau gula batok. Setelah dipijat, kemudian digerus hingga menjadi butiran-butiran kecil yang menjadi gula. Meskipun gula sudah jadi, kadar airnya masih tinggi. Setelah digerus, diperlukan proses pengeringan dengan oven, dengan tingkat kekeringan di bawah 2. Setelah oven, adonan diayak ulang, karena biasanya ada gula semut yang menempel dan menggumpal. Untuk variasi ukuran butiran gula semut, dapat diminta mulai dari ukuran mes 10, mes 12, mes 14, hingga mes 16. Setelah diayak ulang, produk gula semut siap dikemas dan dijual, menjadi sumber penghasilan.